Rabu, 27 Juli 2011

Perkembangan Arsitektur Modern di Indonesia

Sejak awal tahun 1960-an, literatur barat mulai masuk ke dunia pendidikan arsitektur di Indonesia. Karya-karya dan pemikiran-pemikiran para arsitek terkemuka seperti Walter Gropius, Frank Llyod Wright, dan Le Corbusier menjadi referensi normatif dalam diskusi di kelas dan latihan di studio, sehingga karakter pendidikannya menjadi lebih akademis. Iklim politik pada saat itu sangat berpengaruh terhadap penerimaan masyarakat terhadap teori dan konsep arsitektur modern, karena pada masa ”Demokrasi Terpimpin” (1957-1965) di bawah Presiden Sukarno, ”modernitas” diberikan oleh kepentingan simbolis yang merujuk pada persatuan dan kekuatan nasional.

Di Indonesia, gaya modern yang diterapkan terkadang masih memiliki unsur-unsur estetika yang diusung dari gaya klasik ataupun etnik, sedangkan sebagian lagi telah memenuhi kaidah desain modern murni. Masih sering didengar istilah arsitektur klasik modern, arsitektur modern etnik, arsitektur tradisional modern, arsitektur bali modern, dan sebagainya. Di Indonesia, terdapat kecenderungan untuk memasukkan unsur tradisi ornamen yang menjadikannya sebuah kategori arsitektur yang ambigu, apakah modern, ataukah postmodern?[1]

Untuk menyebut gaya modern yang berornamen tersebut sebagai gaya modern murni bukanlah hal yang tepat, lagipula proses berkembang gaya ini tidak terjadi di Indonesia. Untuk menyebutnya sebagai gaya postmodern, apalagi, di Indonesia bahkan istilah ini cenderung dihindari untuk menghindari ketidak-fahaman masyarakat. Sehingga gaya arsitektur modern di Indonesia akan muncul sebagai gaya khas "Modern Indonesia" dengan karakter sebagai berikut:[2]
  1. Memiliki perhatian yang besar terhadap fungsi ruang, yang didapatkan dari pola aktivitas penghuni.
  2. Memiliki perhatian yang besar terhadap material bangunan yang digunakan untuk mendapatkan hasil akhir (estetika) yang diinginkan.
  3. Memiliki analogi mesin dalam penataan dan pengembangan ruang-ruang.
  4. Menghindari ornamen (bila murni gaya modern), atau menggunakan ornamen (bila postmodern, atau diberi embel-embel semacam: arsitektur modern etnik, arsitektur modern Bali, dan sebagainya).
  5. Penyederhanaan bentuk dan ornamentasi dan penghilangan detail yang 'tidak diperlukan' sejauh keinginan desainer (atau pemilik bangunan).


[1] M. Probo H, http://www.astudio.id.or.id/artkhus94modernindonesia.htm
[2] M. Probo H, http://www.astudio.id.or.id/artkhus94modernindonesia.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar